Thursday, June 9, 2016

Al-Qur'an dan Pendidikan

Beberapa waktu belakangan, pendidikan menjadi topik utama dalam rutinitas pikiran saya. Lalu qadarullah, tadi malam saya bermimpi yang saya curigai ia adalah konspirasi dari diskusi serta buku-buku dan materi yang saya baca.

“Jadi, pelajaran apa? IPA?” ujar perempuan berjilbab biru itu sambil memandang saya. Saya menggeleng tegas.

“Bukan, Kak,” jawab saya seraya melanjutkan, “pelajaran tentang tauhid. Keimanan,” mendengarnya, ia mengangguk. Menyetujui. Sementara kakak laki-laki saya duduk sambil menyimak diskusi yang bertepatan dengan giliran saya bicara.

“Gimana?” tanyanya lagi.

“Anak kecil itu masih bersih. Dia bisa menerima kebenaran dengan fitrah. Makanya penting disini untuk dibekali dengan tauhid; keimanan. Kenapa tauhid? Karena aspek itulah yang jadi motor utama dia kelak untuk jadi baik pada aspek-aspek lain seperti sosial, emosi, kognitif, dan lainnya,”

“Ya, ya” ia kembali mengangguk, “tunggu sebentar. Ini, biar kutulis konsepnya di kertas,” kemudian perempuan itu menyiapkan selembar kertas kosong dan alat tulis. Selagi saya bicara, ia terus lihai menggerakkan tangannya. Menerjemahkan perkataan saya menjadi mind mapping di atas kertas.

“Al Qur’an, Kak. Selama ini Al-Qur’an masih jadi buku kedua. Dalam waktu enam tahun usia SD, umur sekolah yang paling lama, disini lah dasar-dasar itu penting diajarkan. Kita terapkan Al-Qur’an sebagai satu-satunya buku paket utama. Biar lama, tapi sedikit-sedikit dan bertahap. Ini pedoman hidup. Bagaimana bisa anak-anak tidak dikenalkan pada pedoman hidupnya sejak dini?” yang saya ajak bicara tidak banyak berkata. Ia hanya bergumam kecil; tanda menyetujui.

Lalu entah dapat ilham darimana, saya terus saja berujar. Ada dorongan kuat dari dalam untuk menumpahkan fikiran yang lama terpendam. Ada semacam perasaan “saya boleh tidak mendapat kesempatan optimal dalam mengenal Al-Qur’an sejak dulu. Tapi generasi besok jelas harus punya kesempatan itu.”

Selesai saya bicara banyak, kertas itu telah apik merangkum konsep besar kami. Saya bahkan masih ingat beberapa garis dan tulisan yang tertera di sana –yang dibuat oleh seorang perempuan yang saya ingat wajahnya namun tiada saya tahu siapa ia.

**

Sebenarnya, penggal percakapan yang saya ingat dari mimpi tadi malam lebih detil dari apa yang saya tuliskan di atas. Namun sayang, saya tidak tahu bagaimana cara menuliskan redaksinya.

Beberapa waktu lalu, kepala saya berfikir tentang gagasan pendidikan. Selama ini, pelajaran agama kebanyakan masih menjadi subjek pelengkap dan seolah nomor dua. Padahal, semakin kesini saya semakin menyadari bahwa justru agama ini lah yang paling penting dan utama untuk kehidupan seseorang. Saya masih jauh sekali dari tahap ini, namun saya berfikir, ketika seseorang memahami agama, maka sejatinya ia akan menuntut ilmu yang lain dengan sungguh-sungguh. Karena, hei, bahkan kedudukan ilmu sangat dimuliakan dalam agama, bukan?

"Sesungguhnya para malaikat merendahkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang dilakukannya." (Rasulullah SAW)

Namun waktu itu saya sama sekali belum berfikir akan buku paket. Saya justru secara amatiran membandingkan perihal kurikulum dan sistem pembelajaran di beberapa model sekolah mulai dari SD, MI, pesantren, hingga IT. Meski belum mendalam, tapi saya mulai menemukan titik perbedaan dan celah yang membuat saya berfikir akan gagasan di atas. Alih-alih melirik Al-Qur’an, saya justru mencari tahu kira-kira bagaimana caranya pengajaran itu terintegrasi dengan agama yang jadi pusat utama -dengan tetap membawa ilmu-ilmu teknis dalam kehidupan? Buku paket macam apa yang harus dibuat? Kurikulum seperti apa?

Hingga tadi malam saya bermimpi seperti yang telah saya ceritakan. Lagi, saya 'ditampar'. Bahkan ternyata ‘buku paket’ itu telah berada begitu dekat dengan kita. Namun sayang, ia tidak benar-benar difungsikan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan orang. Ia tersimpan rapi di laci dan lemari, dibaca tanpa dimaknai, dihormati tanpa diresapi. Meskipun demikian, saya bersyukur negeri ini masih menyimpan ‘budaya’ mengaji. Alhamdulillah. Bahkan anak-anak di sekitar asrama tempat saya tinggal tidak sedikit yang minta diajari mengaji (membaca Al-Qur’an). Ia adalah suatu kebahagiaan yang patut disyukuri. Namun, saya lantas bertanya kepada diri sendiri: mengapa tidak kita bangun rasa ingin tahu mereka? Tidakkah mereka penasaran dengan isi dan makna bacaan yang mereka baca itu?

“Kak, emangnya gimana sih cerita pemuda yang hidup di gua? Ceritain, Kak,” tiba-tiba saya ingat degan pertanyaan adik saya yang masih duduk di bagku kelas 5 SD. Saat itu saya menjawab setahu saya, berdasarkan apa yang telah saya pahami selama ini. Lalu dengan bijak, ayah saya menimpali,

“Coba buka Al-Qur’an surat Al-Kahfi. Baca aja, disana ada ceritanya,” ujar ayah. Tanpa saya duga, adik saya begitu bersemangat. Kemudian ia tekun membaca terjemah Al-Qur’an surat Al-Kahfi, disusul komentar dan beberapa pertanyaan sebagai buah dari rasa takjub dan rasa ingin tahunya.

“Al-Qur’an is not a book of science, it’s a book of sign.” Begitu dr. Zakir Naik pernah berujar di salah satu ceramahnya ketika menjawab pertanyaan seorang atheis.

SIGN! Petunjuk. Tanda. Pedoman. Al-Qur’an, kalamullah itu, ia akan tetap membawa kebaikan meskipun kita membaca tanpa mengerti maksudnya. Dengan Al-Qur’an, kita melembutkan hati dan menentramkan jiwa atas izin-Nya. Ialah itu bagian dari mukjizat Al-Qur’an. Adapun kemudian, bersyukur jika kita mengerti Bahasa Arab, karena memaknainya akan jadi lebih mudah. Bersyukur bagi kita yang mendapat kesempatan dan kemauan untuk belajar Bahasa Arab, karena nikmat itu sungguh luar biasa. Pemahaman akan pedoman hidup-- tidakkah itu menggiurkan? Tidak berlebihan pernyataan bahwa memaknai Al-Qur’an berarti memaknai kehidupan.

Adapun bagi kita yang belum mengerti Bahasa Arab, bersyukurlah. Karena detik ini terjemah Al-Qur’an telah tersedia. Meski tidak seideal jika kita memahami Bahasa Arab, namun jelas ia bisa dibaca dan memudahkan kita sebagai gerbang untuk memaknai kalamullah. In syaAllah.

Jika Ustadz Away Baidhowy sebagai guru Akidah Akhlak menginspirasi peserta didiknya untuk menjadi penulis mushaf Al-Qur’an, rasa-rasanya saya ingin mengajak mereka bersama-sama untuk mengkhatamkan Al-Qur’an beserta terjemahnya.

PS: Sampai detik ini pun saya belum selesai. Mohon doanya.


Sumber: google.com (keyword Al-Qur'an)

Batavia, 4 Ramadhan 1437 H


2 comments:

  1. Hi Ka.. kaka anak IKK IPB juga ya? wah pas banget aku juga anak IKK IPB angkatan 54. Awalnya aku lagi nyari harga buku Rethinking Education untuk tugas resensi mata kuliah pendidikan holistik. Trus muncul blogspot Kaka.. aku udah baca tentang resensi bukunya yang kaka tulis di blogspot.. bagus kaa.. btw salam kenal kaa . hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, Nisrina! iya aku IKK IPB 50, IKA IPB 53 :) terima kasih yaa sudah mampir. Salam kenal juga :D

      Delete